Minggu, 28 Desember 2014

Cerita Bersambung (1)


Manis dari Secangkir Kopi
Oleh: Sherly Indriana
      

      “Kamu yakin toh, nduk, mau jualan nasi kuning hari ini? Di luar sedang hujan deras, loh” ujar perempuan berambut putih kepada Tiwi.
      “Walah, bu. Hujan begini mah kecil bagi Tiwi. Biasanya juga kalo hujan Tiwi tetap jualan, Bu. Sudah, ibu istirahat aja di kamar. Biar Tiwi yang cari duit. Tiwi pamit dulu ya, bu. Assalamualaikum,” sahut Tiwi sambil berlalu pergi.
      Tiwi adalah gadis cantik nan baik hati. Ia tinggal bersama ibu dan ketiga adiknya yang masih kecil. Ayahnya telah meninggal dunia sejak 2 tahun lalu dan ibunya yang sudah tua kini sakit-sakitan. Tiwilah satu-satunya harapan keluarga, sehingga ia pun memutuskan untuk berhenti sekolah, meskipun dia termasuk siswa yang berprestasi di sekolah. Namun, putus sekolah tak menyurutkan semangatnya untuk terus menuntut ilmu. Setiap dua hari sekali, Tiwi selalu meluangkan waktunya untuk mengunjungi perpustakaan  yang ada didesanya.
***
      Tidak seperti biasanya, pagi ini jalanan menuju pasar begitu sepi dan begitu gelap mencekam. Mungkin, hujan deras yang menghiasi subuh hari ini, membuat banyak orang malas untuk pergi ke pasar. Tapi, hujan tersebut tidak sama sekali menyurutkan semangat Tiwi untuk berjualan. Di tengah derasnya hujan, tiba-tiba sebuah lampu mobil menyoroti jalanan di depan Tiwi dari arah belakang.
      Mobil itu terus melaju hingga akhirnya menginjak genangan air yang tepat berada di samping Tiwi. Dalam hitungan detik saja, genangan air itu pun menyembur ke arah Tiwi. Seketika baju pink yang dikenakan Tiwi menjadi basah dan bakul nasi yang ia bawa pun ikut terkena cipratan genangan air itu. Tiwi yang begitu kaget itu pun hanya bisa berdiri diam dengan mulut menganga sambil menatap mobil putih yang terus menjauh.
      Tiba-tiba, sesosok laki-laki mengeluarkan kepalanya sambil berteriak kepada Tiwi, “ Woy, kalau jalan liat-liat dong!”
      “Walah, kamu itu yang kalo jalan ati-ati! Gak liat apa itu ada genangan! Dasar gila!!” umpat Tiwi setelah menyadari bahwa ia menjadi korban yang dipersalahkan dalam kasus ini.
      Mendadak semangat Tiwi untuk melanjutkan perjalanannya menjadi surut. Dagangan nasi kuningnya juga sudah terkena genangan air.Dengan amarahnya yang masih meluap-luap, ia bergegas meninggalkan tempat itu menuju rumahnya.
      Sesampainya di rumah, ia di sambut oleh pertanyaan bingung dari ibunya, “Lah, gak jadi jualan, nduk? Baju kamu kok basah semua toh, nduk?”
      “Tadi ada sedikit masalah di jalan, tapi Tiwi gapapa kok, bu. Justru Tiwi yang mau minta maaf ke ibu, soalnya hari ini Tiwi ga bisa jualan. Nasi kuningnya kecipratan air. Yaudah, Tiwi masuk dulu ya, bu. Tiwi mau ganti baju sekalian mau buka warung,” jelas Tiwi yang kemudian masuk ke dalam kamarnya.
      Seusai berganti baju, Tiwi pun bergegas membuka warung yang berada di depan rumahnya. Di warungnya, Tiwi menjual nasi kuning, kopi hitam, dan juga beberapa barang kebutuhan sehari-hari. Warung Tiwi selalu ramai dikunjungi karena sikapnya yang terkenal selalu ramah kepada semua orang. Para pemuda desa juga sering duduk-duduk sambil minum kopi di warungnya.
***
      “Kakeekk...” seorang laki-laki turun dari sebuah mobil putih di depan sebuah rumah yang sangat megah.
      “Wah wah wahh... Cucu kesayangan kakek udah datang, toh,” sambut kakek dengan hangat.
      “Bi, tolong bawakan barang-barang Varel ke kamar, ya” perintah kakek kepada pembantunya.
      “Iya, kek” jawab pembantunya singkat.
      “Wah, desa ini ga berubah ya, kek. Masih sejuk seperti yang dulu,” ucap laki-laki yang bernama Varel itu.
      “Walah walah, leh. Bilang aja toh kalo kangen sama kakekmu ini” kata kakek dengan logat jawanya yang masih kental.
      “Haha, kakek tau aja. Iya nih kek, Varel lagi bete banget sama mami yang kerjaannya ngomel-ngomel melulu dirumah. Mending Varel kesini deh, lebih sejuk dan tenang,” jawab Varel.
      “Yowes, sekarang kamu istirahat aja di dalam. Kakek mau ke warung kopi di depan dulu, ya” ucap kakek.
      “Varel boleh ikut ga, kek? Varel pingin keliling desa sekalian ngelepas bete. Lagian, Varel juga ga capek kok, kek. Boleh ya, kek?? Please.” kata Varel dengan muka memelas.
      “Wah, pasti bolehlah. Ayo kita keliling!” ajak kakek.
      Mereka berdua pun berjalan menuju warung kopi.
***
      “Pagi, nak Tiwi” Tiwi dikagetkan oleh sebuah suara yang sudah tak asing lagi ditelinganya.
      “Eh, kakek. Apa kabar, kek?” sambut Tiwi sambil tersenyum kepada kakek Joko.
      “Alhamdulillah baik, nak. Kopinya 2, ya. Satunya seperti biasa, ga pake gula” jawab kakek.
      Kakek Joko adalah orang terkaya di kampungnya. Uangnya berlimpah, tanahnya dimana-mana dan sawahnya berhektar-hektar luasnya. Namun, meskipun ia kaya, ia selalu hidup sederhana dan ramah kepada semua penduduk desa. Kekayaannya digunakan untuk membuat masjid, panti asuhan, dan menyantuni fakir miskin. Tak hanya itu, dengan kemurahan hatinya, ia juga sering meminjamkan uangnya kepada warga desa yang membutuhkan tanpa pungutan bunga sepersen pun. Salah satu warga yang meminjam uang kepada kakek Joko adalah Tiwi.
      Setiap hari, kakek Joko selalu menyempatkan dirinya untuk minum kopi di warung Tiwi. Tapi ada yang sedikit berbeda hari ini, kakek Joko tidak datang sendirian. Di sebelahnya, terlihat seorang laki-laki yang sedang sibuk memainkan gadget miliknya. Dari lagak-lagaknya, Tiwi seperti pernah bertemu dengannya. Tapi, Tiwi tidak ingat siapa dia.
      Tak membutuhkan waktu yang lama, 2 kopi pesanan kakek pun sudah jadi.
      “Ini kopinya, kek. Silahkan di minum,” kata Tiwi dengan sopan.
      Saat Tiwi hendak kembali ke dalam warung, tiba-tiba saja kakek mencegahnya, “Oya, nak Tiwi,” kata Kakek.
      “Ini Varel, cucu saya yang datang dari Jakarta. Varel, ini Tiwi, gadis cantik yang biasa kakek bicarakan ke kamu,” lanjut kakek memperkenalkan Tiwi dengan lelaki yang sedari tadi sibuk memainkan gadgetnya.
      Kepala lelaki itu pun perlahan mengadah ke arah Tiwi. Sontak Tiwi dan lelaki yang bernama Varel itu kaget setelah melihat satu sama lain.
      “Kamuu??” ucap mereka secara bersamaan.
      “Walah walah, jadi kalian udah saling kenal?” kata kakek dengan bahagia.
      “Kek, cewek ini nih, yang udah bikin Varel bete pagi-pagi, dia yang ngehalangi jalannya mobil Varel,” ucap Varel sambil menunjuk ke arah Tiwi.
      “Ih, kok jadi kamu yang marah-marah ke aku, sih? Aku yang harusnya minta ganti rugi ke kamu! Denger ya, gara-gara kamu tadi nyipratin air ke aku, aku ga bisa jualan nasi kuning, tau ga?!” balas Tiwi sambil menunjuk Varel dengan amarah yang meluap-luap.
      “Sudah sudah. Kalian ini apa-apaan, sih?! Kayak anak kecil saja. Varel, ayo segera minta maaf ke Tiwi,” kata kakek melerai perkelahian mereka berdua.
      “Loh, kok Varel yang minta maaf, sih? Itu kan salahnya sendiri,” ucap Varel membela.
      “Iya, kamu yang harus minta maaf ke Tiwi sekarang!” tegas kakek.
      Varel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ia berlari pergi meninggalkan kakek dan Tiwi.

Bersambung....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar