Sabtu, 27 Desember 2014

Arti dari Secangkir Kopi Pahit
Oleh: Sherly Indriana


Kriiiiing....
 Tuhan seolah mendengar jeritan hatiku. Suara bel panjang yang telah kunanti itu pun terdengar. Aku bergegas meninggalkan kelas dan berjalan melawan arus manusia yang mengarah ke gerbang sekolah. Kepalaku celingukan ke kanan dan kiri, berharap segera menemukan sosok orang yang ku cari. Hingga akhirnya, aku menemukannya.
“Feby...” tanganku melambai ke arah gadis cantik yang berada di kejauhan.
Feby menoleh ke arahku. Kemudian ia berlari mendekat.
“Eh, sori banget ya, Met. Gue agak lambat keluarnya, soalnya..”
“Karena si guru purba itu, kan? Haha, santai saja kali, Feb. Gue udah hapal jadwal pelajaran sejarah, lo. Uh, untung aja gue ga di ajarin sama Pak Slamet. Kalau sampai iya, huft ga kebayang deh betapa boringnya itu jam pelajaran. Bahkan aku akan semakin sering membolos sepertinya,” kataku panjang lebar. Kami pun tertawa sambil berjalan meninggalkan sekolah yang mulai sepi.
Perkenalkan, namaku Metasya Purnama Sari. Biasa dipanggil Meta. Sekarang, aku sedang duduk di bangku kelas 2 SMA. Aku dan Feby bersahabat sejak 3 tahun yang lalu, berawal dari secangkir kopi. Saat itu, ia duduk tepat di sebelahku di sebuah kedai kopi, dan aku pun mencoba untuk mengobrol dengannya. Ternyata kami berdua cepat akrab. Selain kesamaan hobi minum kopi, kami juga sama-sama sedang galau saat itu. Kami pun bertukaran nomor ponsel, dan akhirnya hubungan pertemanan kami semakin erat hingga saat ini. Bahkan, kami sepakat untuk masuk ke SMA yang sama, SMA Nusa Bangsa, tempat kami menuntut ilmu saat ini.
***
Pagi ini aku bangun sedikit terlambat sehingga semua pergerakanku menjadi sangat terburu-buru. Tanpa pamitan kepada papa, aku langsung turun dari mobil dan berlari menuju kelasku yang berada di lantai 2, menyusuri lantai satu yang dihuni oleh para senior.
Brak...
“Awww..” jeritku.
Astaga, aku menabrak seseorang, kataku dalam hati. Tanpa berani melihat ke arahnya, aku pun bergegas mengumpulkan buku-bukuku yang terjatuh dan langsung pergi meninggalkannya. Sepanjang jalan aku berlari dan terus berharap Bu Susi, guru fisikaku yang begitu killer itu belum masuk. Dan lagi lagi Tuhan begitu adil kepadaku. Bu Susi belum muncul di kelasku.
“Met, tumben lo telat. Habis mimpiin Kak Veto, si pujaan hati yang ga kesampaian itu, ya??” teriak Vira, teman sekelasku. Sontak seisi kelas tertawa mendengarnya.
Ya, aku memang begitu tergila-gila dengan Kak Veto, kapten tim basket di sekolahku. Dia memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang begitu rupawan. Selain jago memainkan bola basket, ia juga sangat berprestasi di bidang akademik. Maka tak heran jika Kak Veto banyak dielu-elukan oleh para gadis di sekolahku. Mereka sering mencoba untuk menarik perhatian Kak Veto. Tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menjadi seperti mereka.
“Apaan sih, Vir?! Siapa juga yang suka Kak Ve...” pembelaanku terputus saat melihat orang yang kami bicarakan berada di pintu kelas. Kelasku menjadi hening dan seketika jantungku berdetak semakin cepat.
“Emm, disini ada yang namanya Tasya?” tanya Kak Veto di tengah keheningan.
“Hah? Tasya, kak? Tasya di kelas sebelah, kak. Bukan disini,” kata Toni, si ketua kelas.
“Oh.. Di sebelah, ya? Soalnya disini namanya Metasya...”
Suaranya mendadak samar di telingaku saat kulihat buku biru yang kukenal dipegangnya.
“Oh, itu mah Meta kak. Yang ini orangnya, kak” kata Vira sambil mendorongku ke arah Kak Veto.
“Ah.. Ehh.. Ada perlu apa ya, kak?” kataku kepada Kak Veto, pura-pura tak tahu.
“Ini bukumu, bukan? Tadi jatuh pas kita tabrakan di koridor. Tadinya saya mau langsung mengembalikan, eh kamunya langsung lari aja,” kata Kak Veto sambil menyerahkan buku itu kepadaku.
“Hehe, iya kak. Ini buku saya. Maaf ya, kak, tadi saya langsung lari gitu aja. Makasih juga udah mau mengantarkan buku saya,” kataku kikuk.
“Iya, sama-sama. Yaudah, lain kali hati-hati, ya. Kalau begitu, saya kembali ke kelas dulu ya, Tasy, eh, Meta” kata Kak Veto yang membuat hatiku menjadi berbunga-bunga.
***
Hari ini adalah hari minggu. Tapi, entah kenapa aku tak bersemangat seperti biasanya. Mama pergi ke luar kota sejak kemarin untuk urusan bisnisnya dan papa ada meeting mendadak. Biasanya, aku dan Feby menghabiskan hari minggu kami di kedai kopi, tapi hari ini Feby harus menemani mamanya ke salon. Jadilah ini hari minggu yang begitu menyedihkan.
Perutku yang belum terisi semenjak kemaren sore mulai meraung-raung. Akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi ke supermarket di depan kompleks. Setelah usai berbelanja, tiba-tiba hujan turun dan membuatku terpaksa menunggu hingga reda. Tak kusangka, tiba-tiba seseorang yang kukenal datang menghampiriku.
“Mau nemenin aku ngopi dulu, ga? Bakalan lama kalo nungguin hujannya sampe berhenti,” kata Kak Veto yang telah berdiri di sampingku.
“Sa.. saya, kak?” tanyaku gagap.
“Yaiyalah, kamu. Mau ga? Tapi kalo ga mau, gapapa juga sih, saya ga maksa, kok” katanya.
Astaga, Meta. Ini kesempatan yang sangat langka, awas aja sampe lo tolak, batinku dalam hati.
“Eh.. Boleh deh, kak,” kataku singkat. Kami pun berjalan menuju kedai kopi terdekat.
“Kopinya satu ya, mas. Gulanya satu sendok, saja,” ujar Kak Veto kepada pelayan.
“Em, saya juga kopinya satu. Gulanya satu sendok, juga” kataku.
“Loh, kamu juga minum kopi, Met?” kata Kak Veto, kaget.
“Sukanya pakai banget, kak. Saya suka kopi dengan takaran gula yang lebih sedikit. Soalnya terasa lebih pahit. Dan hal itu menyadarkan saya bahwa hidup ini ga selamanya manis, tapi ada kalanya kita bakal ngerasain pahitnya juga,” jawabku panjang lebar.
“Haha, baru pertama kali saya ketemu cewek cantik yang suka minum kopi seperti kamu. Ngomong-ngomong, saya juga suka kopi pahit, loh. Menurut saya, kopi pahit itu bisa nenangin perasaan saya, bahkan menyelamatkan hidup saya,” kata Kak Veto dengan pandangan menerawang ke depan.
“Hah? Menyelamatkan hidup, kakak? Kok bisa?” tanyaku penasaran.
“Ayah saya meninggal akibat kebanyakan minum kopi manis. Aneh mungkin kedengarannya, tapi itulah adanya. Ayah saya suka sekali makan dan minum yang manis-manis, tak terkecuali kopi. Makanya saya bilang kopi pahit itu menyelamatkan. Ngerti, kan?” kata kak Veto sambil tersenyum kepadaku. Senyuman yang kian membuat dadaku bergemuruh tak karuan.
“Oh, gitu ya, kak” timpalku.
“Oya, Met. Kok sebelumnya aku ga pernah ngeliat kamu di sekolah, ya? Kamu anak baru?” tanyanya
Aku yang saat itu sedang menyeruput kopi panasku, sontak terbatuk mendengarnya.
“Met, kamu gapapa?” tanya Kak Veto dengan panik.
“Hehe, gapapa kok, Kak. Em, mungkin karena saya ga terkenal seperti kakak” jawabku sambil tersenyum.
“Ah, tapi kan kamu cantik. Ga mungkin kalo ga terkenal” katanya lagi yang membuat perasaanku kembali berbunga-bunga.
“Ih, kakak mah gombal, terus” tanyaku sambil berusaha menutupi perasaanku yang kian berbunga-bunga saat berbicara dengannya.
“Saya serius, Met” katanya.
“Oya, Met, pacarmu ga marah ya, kalo saya ngajakin kamu jalan?” tanyanya lagi.
“Hehe, ga bakal ada yang marah sih, kak. Saya belum punya pacar” jawabku malu-malu.
“Ah, masa?” tanyanya kaget.
“Iya, kak. Serius, deh” kataku.
Kami pun terus berbagi cerita tentang kehidupan kami masing-masing. Ditemani dua cangkir kopi, kami pun larut dalam pembicaraan yang tak terduga itu.
***
“Metaaa...” terdengar suara Feby di tengah keramaian kantin.
Sontak seisi kantin menoleh ke arahnya. Aku pun hanya bisa menahan tawa melihatnya berjalan sambil menahan malu. Sesampainya di meja, ia langsung menatapku dengan serius.
“Met, sumpah, lo jahat banget ke gue, LO JAHAT BANGET KE GUE!!!” katanya dengan penuh penekanan.
“Hah? Salah apa lagi aku ini?” tanyaku bingung.
“Lo jadian sama Kak Veto, yaa?? Kok lo jahat sih, ga ada ngasih tau gue. Mestinya gue jadi orang pertama yang tau dari lo, bukan jadi orang yang tau dari orang lain! Ih, bete ah gue sama lo,” katanya sambil berpura-pura ngambek.
“Ih, gue ga punya pulsa, Feby-ku sayang. Tadi pagi, pas gue ke kelas lo, elo-nya belum datang. Ini  juga rencananya gue mau cerita ke elo pas istirahat. Eh, udah tau duluan,” jelasku.
“WHAT? Jadi, lo beneran jadian sama Kak Veto?? Kok bisa??” tanyanya penasaran.
“Hehe, ya gitu deh. Ceritanya panjang” kataku. Aku pun menceritakan kejadian dari awal kami bertemu, hingga akhirnya Kak Veto menyatakan cintanya di kedai kopi kemarin, disaksikan oleh sang hujan.
***
Hari ini adalah hari jadianku yang ke-5 kalinya. Seperti biasa, aku dan kak Veto merayakannya bersama Feby. Dimana lagi kalau bukan di kedai kopi, tempat yang bagiku telah menciptakan sebuah kemanisan tersendiri dari sebuah kopi pahit.
“Mas, kopinya tiga, ya. Yang dua, gulanya cuma sesendok. Yang satunya, gulanya empat sendok”, ujarku memesankan kopi untuk kami bertiga.
“Ckckck.. Feby Feby... jangan kebanyakan minum yang manis-manis, Feb. Ga baik buat kesehatan, loh” kata Kak Veto menasihati.
“Haha, siap, bosku” jawab Feby. Kamudian, kami bertiga pun larut dalam panasnya kopi.
***
Hari ini adalah hari minggu yang bertepatan dengan hari jadiku yang ke-6. Aku pun memutuskan untuk kembali merayakannya di kedai kopi. Sebenarnya, kali ini agak sedikit memaksa. Kak Veto awalnya tidak mau karena cuaca yang sedang hujan. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin melihatku sakit hanya karena harus merayakan hari jadi kami. Tapi aku tetap memaksa dan meyakinkan dirinya bahwa aku tidak akan sakit. Hingga akhirnya dia menurut.
Aku pun meminta kepada papa untuk mengantarkanku ke kedai kopi, tempat favorit kami bertiga. Sesampainya disana, hujan turun semakin deras. Aku pun segera masuk dan memesankan kopi untuk aku, Feby, dan Kak Veto.
Pesanan kami telah datang sejak 10 menit yang lalu, tapi mereka berdua tak kunjung datang. Aku mulai gelisah, tapi aku tetap berusaha untuk berpikir positif, mungkin saja mereka sedang terjebak macet atau banjir.
30 menit sudah aku duduk di kedai ini. Uap panasnya kopi yang telah ku pesan mulai tak terlihat. Mereka berdua tak kunjung datang. Ponsel Feby mati. Aku pun telah berulang kali menelpon ponsel kak Veto, tapi hasilnya nihil, teleponku juga tidak di angkat. Hatiku mulai gundah dan terus bertanya-tanya, ada apa gerangan.
Hingga akhirnya, ponselku berdering. Aku segera mengambilnya dari meja. Ternyata itu telepon dari Tante Sinta, mamanya Feby. Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Kuangkat teleponnya, dan benar saja, kabar buruk menghampiriku. Aku tak kuasa menahan air mataku ketika mendengar kabar bahwa Feby telah tiada. Feby difonis menderita penyakit diabetes akibat terlalu banyak mengonsumsi gula. Dan penyakit itu berhasil merenggut nyawa Feby secara perlahan. Tidak ada yang mengetahui tentang penyakit Feby, termasuk kedua orang tuanya. Ternyata Feby telah merahasiakan penyakitnya sejak lama.
Masih dengan beruaraian air mata, ku terjang hujan dan mencari angkutan umum terdekat. Aku tak peduli betapa orang-orang di dalam angkot menatapku dengan pandangan bingung. Sesampainya di rumah sakit, aku pun menangis sejadi-jadinya. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, Feby akan pergi secepat ini. Tiba-tiba pandanganku memburam. Kemudian, aku tak sadarkan diri.
***
Aku tersadar dari pingsanku. Aku melihat, mama, papa, dan seorang suster berada di samping ranjangku. Mama masih menangis menatap ke arahku, dan papa berusaha menenangkan mama. Ponselku berdering, tanda sms masuk. Aku pun membukanya.
Meta, sayang. Kamu yg sabar, ya... Veto mengalami kecelakaan di perjalanan menuju kedai kopi. Dan, nyawanya tak terselamatkan...
Sender: Mamanya Veto
***
Kini, kepahitan dari sebuah kopi pahit benar-benar pahit bagiku. Tak ada lagi rasa manis didalamnya, mereka yang telah menciptakan rasa manis itu telah pergi meninggalkanku. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menyentuh kopi pahit, biar sekali pun. Karena pahitnya kopi hanya akan membuat hatiku semakin terluka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar