Minggu, 28 Desember 2014

Cerita Bersambung (1)


Manis dari Secangkir Kopi
Oleh: Sherly Indriana
      

      “Kamu yakin toh, nduk, mau jualan nasi kuning hari ini? Di luar sedang hujan deras, loh” ujar perempuan berambut putih kepada Tiwi.
      “Walah, bu. Hujan begini mah kecil bagi Tiwi. Biasanya juga kalo hujan Tiwi tetap jualan, Bu. Sudah, ibu istirahat aja di kamar. Biar Tiwi yang cari duit. Tiwi pamit dulu ya, bu. Assalamualaikum,” sahut Tiwi sambil berlalu pergi.
      Tiwi adalah gadis cantik nan baik hati. Ia tinggal bersama ibu dan ketiga adiknya yang masih kecil. Ayahnya telah meninggal dunia sejak 2 tahun lalu dan ibunya yang sudah tua kini sakit-sakitan. Tiwilah satu-satunya harapan keluarga, sehingga ia pun memutuskan untuk berhenti sekolah, meskipun dia termasuk siswa yang berprestasi di sekolah. Namun, putus sekolah tak menyurutkan semangatnya untuk terus menuntut ilmu. Setiap dua hari sekali, Tiwi selalu meluangkan waktunya untuk mengunjungi perpustakaan  yang ada didesanya.
***
      Tidak seperti biasanya, pagi ini jalanan menuju pasar begitu sepi dan begitu gelap mencekam. Mungkin, hujan deras yang menghiasi subuh hari ini, membuat banyak orang malas untuk pergi ke pasar. Tapi, hujan tersebut tidak sama sekali menyurutkan semangat Tiwi untuk berjualan. Di tengah derasnya hujan, tiba-tiba sebuah lampu mobil menyoroti jalanan di depan Tiwi dari arah belakang.
      Mobil itu terus melaju hingga akhirnya menginjak genangan air yang tepat berada di samping Tiwi. Dalam hitungan detik saja, genangan air itu pun menyembur ke arah Tiwi. Seketika baju pink yang dikenakan Tiwi menjadi basah dan bakul nasi yang ia bawa pun ikut terkena cipratan genangan air itu. Tiwi yang begitu kaget itu pun hanya bisa berdiri diam dengan mulut menganga sambil menatap mobil putih yang terus menjauh.
      Tiba-tiba, sesosok laki-laki mengeluarkan kepalanya sambil berteriak kepada Tiwi, “ Woy, kalau jalan liat-liat dong!”
      “Walah, kamu itu yang kalo jalan ati-ati! Gak liat apa itu ada genangan! Dasar gila!!” umpat Tiwi setelah menyadari bahwa ia menjadi korban yang dipersalahkan dalam kasus ini.
      Mendadak semangat Tiwi untuk melanjutkan perjalanannya menjadi surut. Dagangan nasi kuningnya juga sudah terkena genangan air.Dengan amarahnya yang masih meluap-luap, ia bergegas meninggalkan tempat itu menuju rumahnya.
      Sesampainya di rumah, ia di sambut oleh pertanyaan bingung dari ibunya, “Lah, gak jadi jualan, nduk? Baju kamu kok basah semua toh, nduk?”
      “Tadi ada sedikit masalah di jalan, tapi Tiwi gapapa kok, bu. Justru Tiwi yang mau minta maaf ke ibu, soalnya hari ini Tiwi ga bisa jualan. Nasi kuningnya kecipratan air. Yaudah, Tiwi masuk dulu ya, bu. Tiwi mau ganti baju sekalian mau buka warung,” jelas Tiwi yang kemudian masuk ke dalam kamarnya.
      Seusai berganti baju, Tiwi pun bergegas membuka warung yang berada di depan rumahnya. Di warungnya, Tiwi menjual nasi kuning, kopi hitam, dan juga beberapa barang kebutuhan sehari-hari. Warung Tiwi selalu ramai dikunjungi karena sikapnya yang terkenal selalu ramah kepada semua orang. Para pemuda desa juga sering duduk-duduk sambil minum kopi di warungnya.
***
      “Kakeekk...” seorang laki-laki turun dari sebuah mobil putih di depan sebuah rumah yang sangat megah.
      “Wah wah wahh... Cucu kesayangan kakek udah datang, toh,” sambut kakek dengan hangat.
      “Bi, tolong bawakan barang-barang Varel ke kamar, ya” perintah kakek kepada pembantunya.
      “Iya, kek” jawab pembantunya singkat.
      “Wah, desa ini ga berubah ya, kek. Masih sejuk seperti yang dulu,” ucap laki-laki yang bernama Varel itu.
      “Walah walah, leh. Bilang aja toh kalo kangen sama kakekmu ini” kata kakek dengan logat jawanya yang masih kental.
      “Haha, kakek tau aja. Iya nih kek, Varel lagi bete banget sama mami yang kerjaannya ngomel-ngomel melulu dirumah. Mending Varel kesini deh, lebih sejuk dan tenang,” jawab Varel.
      “Yowes, sekarang kamu istirahat aja di dalam. Kakek mau ke warung kopi di depan dulu, ya” ucap kakek.
      “Varel boleh ikut ga, kek? Varel pingin keliling desa sekalian ngelepas bete. Lagian, Varel juga ga capek kok, kek. Boleh ya, kek?? Please.” kata Varel dengan muka memelas.
      “Wah, pasti bolehlah. Ayo kita keliling!” ajak kakek.
      Mereka berdua pun berjalan menuju warung kopi.
***
      “Pagi, nak Tiwi” Tiwi dikagetkan oleh sebuah suara yang sudah tak asing lagi ditelinganya.
      “Eh, kakek. Apa kabar, kek?” sambut Tiwi sambil tersenyum kepada kakek Joko.
      “Alhamdulillah baik, nak. Kopinya 2, ya. Satunya seperti biasa, ga pake gula” jawab kakek.
      Kakek Joko adalah orang terkaya di kampungnya. Uangnya berlimpah, tanahnya dimana-mana dan sawahnya berhektar-hektar luasnya. Namun, meskipun ia kaya, ia selalu hidup sederhana dan ramah kepada semua penduduk desa. Kekayaannya digunakan untuk membuat masjid, panti asuhan, dan menyantuni fakir miskin. Tak hanya itu, dengan kemurahan hatinya, ia juga sering meminjamkan uangnya kepada warga desa yang membutuhkan tanpa pungutan bunga sepersen pun. Salah satu warga yang meminjam uang kepada kakek Joko adalah Tiwi.
      Setiap hari, kakek Joko selalu menyempatkan dirinya untuk minum kopi di warung Tiwi. Tapi ada yang sedikit berbeda hari ini, kakek Joko tidak datang sendirian. Di sebelahnya, terlihat seorang laki-laki yang sedang sibuk memainkan gadget miliknya. Dari lagak-lagaknya, Tiwi seperti pernah bertemu dengannya. Tapi, Tiwi tidak ingat siapa dia.
      Tak membutuhkan waktu yang lama, 2 kopi pesanan kakek pun sudah jadi.
      “Ini kopinya, kek. Silahkan di minum,” kata Tiwi dengan sopan.
      Saat Tiwi hendak kembali ke dalam warung, tiba-tiba saja kakek mencegahnya, “Oya, nak Tiwi,” kata Kakek.
      “Ini Varel, cucu saya yang datang dari Jakarta. Varel, ini Tiwi, gadis cantik yang biasa kakek bicarakan ke kamu,” lanjut kakek memperkenalkan Tiwi dengan lelaki yang sedari tadi sibuk memainkan gadgetnya.
      Kepala lelaki itu pun perlahan mengadah ke arah Tiwi. Sontak Tiwi dan lelaki yang bernama Varel itu kaget setelah melihat satu sama lain.
      “Kamuu??” ucap mereka secara bersamaan.
      “Walah walah, jadi kalian udah saling kenal?” kata kakek dengan bahagia.
      “Kek, cewek ini nih, yang udah bikin Varel bete pagi-pagi, dia yang ngehalangi jalannya mobil Varel,” ucap Varel sambil menunjuk ke arah Tiwi.
      “Ih, kok jadi kamu yang marah-marah ke aku, sih? Aku yang harusnya minta ganti rugi ke kamu! Denger ya, gara-gara kamu tadi nyipratin air ke aku, aku ga bisa jualan nasi kuning, tau ga?!” balas Tiwi sambil menunjuk Varel dengan amarah yang meluap-luap.
      “Sudah sudah. Kalian ini apa-apaan, sih?! Kayak anak kecil saja. Varel, ayo segera minta maaf ke Tiwi,” kata kakek melerai perkelahian mereka berdua.
      “Loh, kok Varel yang minta maaf, sih? Itu kan salahnya sendiri,” ucap Varel membela.
      “Iya, kamu yang harus minta maaf ke Tiwi sekarang!” tegas kakek.
      Varel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ia berlari pergi meninggalkan kakek dan Tiwi.

Bersambung....

Sabtu, 27 Desember 2014

Arti dari Secangkir Kopi Pahit
Oleh: Sherly Indriana


Kriiiiing....
 Tuhan seolah mendengar jeritan hatiku. Suara bel panjang yang telah kunanti itu pun terdengar. Aku bergegas meninggalkan kelas dan berjalan melawan arus manusia yang mengarah ke gerbang sekolah. Kepalaku celingukan ke kanan dan kiri, berharap segera menemukan sosok orang yang ku cari. Hingga akhirnya, aku menemukannya.
“Feby...” tanganku melambai ke arah gadis cantik yang berada di kejauhan.
Feby menoleh ke arahku. Kemudian ia berlari mendekat.
“Eh, sori banget ya, Met. Gue agak lambat keluarnya, soalnya..”
“Karena si guru purba itu, kan? Haha, santai saja kali, Feb. Gue udah hapal jadwal pelajaran sejarah, lo. Uh, untung aja gue ga di ajarin sama Pak Slamet. Kalau sampai iya, huft ga kebayang deh betapa boringnya itu jam pelajaran. Bahkan aku akan semakin sering membolos sepertinya,” kataku panjang lebar. Kami pun tertawa sambil berjalan meninggalkan sekolah yang mulai sepi.
Perkenalkan, namaku Metasya Purnama Sari. Biasa dipanggil Meta. Sekarang, aku sedang duduk di bangku kelas 2 SMA. Aku dan Feby bersahabat sejak 3 tahun yang lalu, berawal dari secangkir kopi. Saat itu, ia duduk tepat di sebelahku di sebuah kedai kopi, dan aku pun mencoba untuk mengobrol dengannya. Ternyata kami berdua cepat akrab. Selain kesamaan hobi minum kopi, kami juga sama-sama sedang galau saat itu. Kami pun bertukaran nomor ponsel, dan akhirnya hubungan pertemanan kami semakin erat hingga saat ini. Bahkan, kami sepakat untuk masuk ke SMA yang sama, SMA Nusa Bangsa, tempat kami menuntut ilmu saat ini.
***
Pagi ini aku bangun sedikit terlambat sehingga semua pergerakanku menjadi sangat terburu-buru. Tanpa pamitan kepada papa, aku langsung turun dari mobil dan berlari menuju kelasku yang berada di lantai 2, menyusuri lantai satu yang dihuni oleh para senior.
Brak...
“Awww..” jeritku.
Astaga, aku menabrak seseorang, kataku dalam hati. Tanpa berani melihat ke arahnya, aku pun bergegas mengumpulkan buku-bukuku yang terjatuh dan langsung pergi meninggalkannya. Sepanjang jalan aku berlari dan terus berharap Bu Susi, guru fisikaku yang begitu killer itu belum masuk. Dan lagi lagi Tuhan begitu adil kepadaku. Bu Susi belum muncul di kelasku.
“Met, tumben lo telat. Habis mimpiin Kak Veto, si pujaan hati yang ga kesampaian itu, ya??” teriak Vira, teman sekelasku. Sontak seisi kelas tertawa mendengarnya.
Ya, aku memang begitu tergila-gila dengan Kak Veto, kapten tim basket di sekolahku. Dia memiliki tubuh yang tinggi dan wajah yang begitu rupawan. Selain jago memainkan bola basket, ia juga sangat berprestasi di bidang akademik. Maka tak heran jika Kak Veto banyak dielu-elukan oleh para gadis di sekolahku. Mereka sering mencoba untuk menarik perhatian Kak Veto. Tapi aku tidak memiliki keberanian untuk menjadi seperti mereka.
“Apaan sih, Vir?! Siapa juga yang suka Kak Ve...” pembelaanku terputus saat melihat orang yang kami bicarakan berada di pintu kelas. Kelasku menjadi hening dan seketika jantungku berdetak semakin cepat.
“Emm, disini ada yang namanya Tasya?” tanya Kak Veto di tengah keheningan.
“Hah? Tasya, kak? Tasya di kelas sebelah, kak. Bukan disini,” kata Toni, si ketua kelas.
“Oh.. Di sebelah, ya? Soalnya disini namanya Metasya...”
Suaranya mendadak samar di telingaku saat kulihat buku biru yang kukenal dipegangnya.
“Oh, itu mah Meta kak. Yang ini orangnya, kak” kata Vira sambil mendorongku ke arah Kak Veto.
“Ah.. Ehh.. Ada perlu apa ya, kak?” kataku kepada Kak Veto, pura-pura tak tahu.
“Ini bukumu, bukan? Tadi jatuh pas kita tabrakan di koridor. Tadinya saya mau langsung mengembalikan, eh kamunya langsung lari aja,” kata Kak Veto sambil menyerahkan buku itu kepadaku.
“Hehe, iya kak. Ini buku saya. Maaf ya, kak, tadi saya langsung lari gitu aja. Makasih juga udah mau mengantarkan buku saya,” kataku kikuk.
“Iya, sama-sama. Yaudah, lain kali hati-hati, ya. Kalau begitu, saya kembali ke kelas dulu ya, Tasy, eh, Meta” kata Kak Veto yang membuat hatiku menjadi berbunga-bunga.
***
Hari ini adalah hari minggu. Tapi, entah kenapa aku tak bersemangat seperti biasanya. Mama pergi ke luar kota sejak kemarin untuk urusan bisnisnya dan papa ada meeting mendadak. Biasanya, aku dan Feby menghabiskan hari minggu kami di kedai kopi, tapi hari ini Feby harus menemani mamanya ke salon. Jadilah ini hari minggu yang begitu menyedihkan.
Perutku yang belum terisi semenjak kemaren sore mulai meraung-raung. Akhirnya aku pun memutuskan untuk pergi ke supermarket di depan kompleks. Setelah usai berbelanja, tiba-tiba hujan turun dan membuatku terpaksa menunggu hingga reda. Tak kusangka, tiba-tiba seseorang yang kukenal datang menghampiriku.
“Mau nemenin aku ngopi dulu, ga? Bakalan lama kalo nungguin hujannya sampe berhenti,” kata Kak Veto yang telah berdiri di sampingku.
“Sa.. saya, kak?” tanyaku gagap.
“Yaiyalah, kamu. Mau ga? Tapi kalo ga mau, gapapa juga sih, saya ga maksa, kok” katanya.
Astaga, Meta. Ini kesempatan yang sangat langka, awas aja sampe lo tolak, batinku dalam hati.
“Eh.. Boleh deh, kak,” kataku singkat. Kami pun berjalan menuju kedai kopi terdekat.
“Kopinya satu ya, mas. Gulanya satu sendok, saja,” ujar Kak Veto kepada pelayan.
“Em, saya juga kopinya satu. Gulanya satu sendok, juga” kataku.
“Loh, kamu juga minum kopi, Met?” kata Kak Veto, kaget.
“Sukanya pakai banget, kak. Saya suka kopi dengan takaran gula yang lebih sedikit. Soalnya terasa lebih pahit. Dan hal itu menyadarkan saya bahwa hidup ini ga selamanya manis, tapi ada kalanya kita bakal ngerasain pahitnya juga,” jawabku panjang lebar.
“Haha, baru pertama kali saya ketemu cewek cantik yang suka minum kopi seperti kamu. Ngomong-ngomong, saya juga suka kopi pahit, loh. Menurut saya, kopi pahit itu bisa nenangin perasaan saya, bahkan menyelamatkan hidup saya,” kata Kak Veto dengan pandangan menerawang ke depan.
“Hah? Menyelamatkan hidup, kakak? Kok bisa?” tanyaku penasaran.
“Ayah saya meninggal akibat kebanyakan minum kopi manis. Aneh mungkin kedengarannya, tapi itulah adanya. Ayah saya suka sekali makan dan minum yang manis-manis, tak terkecuali kopi. Makanya saya bilang kopi pahit itu menyelamatkan. Ngerti, kan?” kata kak Veto sambil tersenyum kepadaku. Senyuman yang kian membuat dadaku bergemuruh tak karuan.
“Oh, gitu ya, kak” timpalku.
“Oya, Met. Kok sebelumnya aku ga pernah ngeliat kamu di sekolah, ya? Kamu anak baru?” tanyanya
Aku yang saat itu sedang menyeruput kopi panasku, sontak terbatuk mendengarnya.
“Met, kamu gapapa?” tanya Kak Veto dengan panik.
“Hehe, gapapa kok, Kak. Em, mungkin karena saya ga terkenal seperti kakak” jawabku sambil tersenyum.
“Ah, tapi kan kamu cantik. Ga mungkin kalo ga terkenal” katanya lagi yang membuat perasaanku kembali berbunga-bunga.
“Ih, kakak mah gombal, terus” tanyaku sambil berusaha menutupi perasaanku yang kian berbunga-bunga saat berbicara dengannya.
“Saya serius, Met” katanya.
“Oya, Met, pacarmu ga marah ya, kalo saya ngajakin kamu jalan?” tanyanya lagi.
“Hehe, ga bakal ada yang marah sih, kak. Saya belum punya pacar” jawabku malu-malu.
“Ah, masa?” tanyanya kaget.
“Iya, kak. Serius, deh” kataku.
Kami pun terus berbagi cerita tentang kehidupan kami masing-masing. Ditemani dua cangkir kopi, kami pun larut dalam pembicaraan yang tak terduga itu.
***
“Metaaa...” terdengar suara Feby di tengah keramaian kantin.
Sontak seisi kantin menoleh ke arahnya. Aku pun hanya bisa menahan tawa melihatnya berjalan sambil menahan malu. Sesampainya di meja, ia langsung menatapku dengan serius.
“Met, sumpah, lo jahat banget ke gue, LO JAHAT BANGET KE GUE!!!” katanya dengan penuh penekanan.
“Hah? Salah apa lagi aku ini?” tanyaku bingung.
“Lo jadian sama Kak Veto, yaa?? Kok lo jahat sih, ga ada ngasih tau gue. Mestinya gue jadi orang pertama yang tau dari lo, bukan jadi orang yang tau dari orang lain! Ih, bete ah gue sama lo,” katanya sambil berpura-pura ngambek.
“Ih, gue ga punya pulsa, Feby-ku sayang. Tadi pagi, pas gue ke kelas lo, elo-nya belum datang. Ini  juga rencananya gue mau cerita ke elo pas istirahat. Eh, udah tau duluan,” jelasku.
“WHAT? Jadi, lo beneran jadian sama Kak Veto?? Kok bisa??” tanyanya penasaran.
“Hehe, ya gitu deh. Ceritanya panjang” kataku. Aku pun menceritakan kejadian dari awal kami bertemu, hingga akhirnya Kak Veto menyatakan cintanya di kedai kopi kemarin, disaksikan oleh sang hujan.
***
Hari ini adalah hari jadianku yang ke-5 kalinya. Seperti biasa, aku dan kak Veto merayakannya bersama Feby. Dimana lagi kalau bukan di kedai kopi, tempat yang bagiku telah menciptakan sebuah kemanisan tersendiri dari sebuah kopi pahit.
“Mas, kopinya tiga, ya. Yang dua, gulanya cuma sesendok. Yang satunya, gulanya empat sendok”, ujarku memesankan kopi untuk kami bertiga.
“Ckckck.. Feby Feby... jangan kebanyakan minum yang manis-manis, Feb. Ga baik buat kesehatan, loh” kata Kak Veto menasihati.
“Haha, siap, bosku” jawab Feby. Kamudian, kami bertiga pun larut dalam panasnya kopi.
***
Hari ini adalah hari minggu yang bertepatan dengan hari jadiku yang ke-6. Aku pun memutuskan untuk kembali merayakannya di kedai kopi. Sebenarnya, kali ini agak sedikit memaksa. Kak Veto awalnya tidak mau karena cuaca yang sedang hujan. Dia mengatakan bahwa dia tidak ingin melihatku sakit hanya karena harus merayakan hari jadi kami. Tapi aku tetap memaksa dan meyakinkan dirinya bahwa aku tidak akan sakit. Hingga akhirnya dia menurut.
Aku pun meminta kepada papa untuk mengantarkanku ke kedai kopi, tempat favorit kami bertiga. Sesampainya disana, hujan turun semakin deras. Aku pun segera masuk dan memesankan kopi untuk aku, Feby, dan Kak Veto.
Pesanan kami telah datang sejak 10 menit yang lalu, tapi mereka berdua tak kunjung datang. Aku mulai gelisah, tapi aku tetap berusaha untuk berpikir positif, mungkin saja mereka sedang terjebak macet atau banjir.
30 menit sudah aku duduk di kedai ini. Uap panasnya kopi yang telah ku pesan mulai tak terlihat. Mereka berdua tak kunjung datang. Ponsel Feby mati. Aku pun telah berulang kali menelpon ponsel kak Veto, tapi hasilnya nihil, teleponku juga tidak di angkat. Hatiku mulai gundah dan terus bertanya-tanya, ada apa gerangan.
Hingga akhirnya, ponselku berdering. Aku segera mengambilnya dari meja. Ternyata itu telepon dari Tante Sinta, mamanya Feby. Tiba-tiba perasaanku menjadi tidak enak. Kuangkat teleponnya, dan benar saja, kabar buruk menghampiriku. Aku tak kuasa menahan air mataku ketika mendengar kabar bahwa Feby telah tiada. Feby difonis menderita penyakit diabetes akibat terlalu banyak mengonsumsi gula. Dan penyakit itu berhasil merenggut nyawa Feby secara perlahan. Tidak ada yang mengetahui tentang penyakit Feby, termasuk kedua orang tuanya. Ternyata Feby telah merahasiakan penyakitnya sejak lama.
Masih dengan beruaraian air mata, ku terjang hujan dan mencari angkutan umum terdekat. Aku tak peduli betapa orang-orang di dalam angkot menatapku dengan pandangan bingung. Sesampainya di rumah sakit, aku pun menangis sejadi-jadinya. Tak pernah kubayangkan sebelumnya, Feby akan pergi secepat ini. Tiba-tiba pandanganku memburam. Kemudian, aku tak sadarkan diri.
***
Aku tersadar dari pingsanku. Aku melihat, mama, papa, dan seorang suster berada di samping ranjangku. Mama masih menangis menatap ke arahku, dan papa berusaha menenangkan mama. Ponselku berdering, tanda sms masuk. Aku pun membukanya.
Meta, sayang. Kamu yg sabar, ya... Veto mengalami kecelakaan di perjalanan menuju kedai kopi. Dan, nyawanya tak terselamatkan...
Sender: Mamanya Veto
***
Kini, kepahitan dari sebuah kopi pahit benar-benar pahit bagiku. Tak ada lagi rasa manis didalamnya, mereka yang telah menciptakan rasa manis itu telah pergi meninggalkanku. Sejak saat itu, aku tak pernah lagi menyentuh kopi pahit, biar sekali pun. Karena pahitnya kopi hanya akan membuat hatiku semakin terluka.


Senin, 22 Desember 2014

sekelumit kata dari sang buah hati

Mamaku adalah orang kedua yang paling kucintai di dalam hidupku setelah Tuhanku, Allah swt. Kau adalah sosok wanita yang paling hebat yang pernah kukenal. Dengan segenap kekuatanmu, kau melahirkanku, membuatku dapat melihat hingar bingar dunia ini. Dengan segenap kesabaranmu, kau merawat dan mendidikku yang begitu nakal ini. Siang malam kau banting tulang, berharap dapat menyuapkan sebulir nasi untukku. Hingga terkadang, kau sendiri lupa untuk menyuapkan secentong nasi untukmu.

Begitu banyak hingga tiada terhitung kasihmu. Semua orang juga selalu mengatakan hal seperti itu kepada ibundanya. Berbanding terbalik dengan aku, anakmu, yang kian hari beranjak kian dewasa ini. Kalau kasihmu tiada terhitung, maka balasku atas kasihmu dapat terhitung. Meskipun balasku dapat terhitung, namun yang wajib kau ketahui adalah cintaku padamu sungguh tiada berujung.

Tanpa ku sadari, kau semakin menua. Rambutmu kian memutih dimakan usia. Keriput di kulitmu menyadarkan diriku dari tidur semalam, yang membutakan mata, menulikan telinga, dan membisukan mulut mungil ini. Selama ini aku terlalu sering melontarkan kata-kata yang tak patut dikatakan kepada orang yang melahirkan dan merawatku. Aku terlalu sering mengabaikan nasihat yang keluar dari mulutmu. Dan tak jarang pula aku membungkamkan mulutku demi menutupi kebohongan-kebohonganku.

Hari ini, 22 Desember 2014, bertepatan dengan hari ibu.  Mungkin apa yang aku impikan dan janjikan kepadamu kali ini, tak seberapa dengan apa yang telah kamu berikan kepadaku. Saat ini apa yang ku impikan mungkin hanyalah sebuah mimpi belaka, tapi aku janji, suatu hari nanti apa yang ku impikan itu kan jadi nyata.

Aku tahu ma, apa yang selama ini kau lakukan dan kau perjuangkan untukku, semata-mata agar aku bisa menjadi yang lebih baik dari dirimu. Ya, kau selalu mengatakannya kepadaku, bahwa yang paling kau inginkan dalam hidupmu adalah melihat anak-anak yang kau lahirkan menjadi sukses. Meskipun impianmu terkadang menjadi sebuah beban yang teramat berat di pundakku, tapi aku akan tetap memikul beban berat itu. Akan kutunjukkan padamu, bahwa benih padi yang telah kau tanam dan rawat selama ini, akan menuaikan hasil yang berkualitas super dan memuaskan.

Aku akan menjadi orang yang sukses di suatu hari nanti. Aku akan menorehkan banyak prestasi tingkat nasional sejak duduk di bangku sekolah. Aku akan menjadi pelajar yang berkewarganegaraan dengan baik dan selalu menaati norma-norma yang ada. Aku akan berusaha untuk menjadi anak yang sholehah, yang membanggakan mama papa dan juga disenangi oleh banyak orang karena akhlaknya. selain itu, aku akan selalu menjadi anak yang berbakti kepada mama papa, dan tak kan pernah melupakan agama yang selama ini telah kau ajarkan kepadaku.  

Selamat hari ibu, mama. Kau lah wanita terhebat yang kupunya didunia ini.