Manis dari Secangkir Kopi
Oleh: Sherly Indriana
“Kamu
yakin toh, nduk, mau jualan nasi
kuning hari ini? Di luar sedang hujan deras, loh” ujar perempuan berambut putih
kepada Tiwi.
“Walah,
bu. Hujan begini mah kecil bagi Tiwi. Biasanya juga kalo hujan Tiwi tetap
jualan, Bu. Sudah, ibu istirahat aja di kamar. Biar Tiwi yang cari duit. Tiwi
pamit dulu ya, bu. Assalamualaikum,” sahut Tiwi sambil berlalu pergi.
Tiwi
adalah gadis cantik nan baik hati. Ia tinggal bersama ibu dan ketiga adiknya
yang masih kecil. Ayahnya telah meninggal dunia sejak 2 tahun lalu dan ibunya
yang sudah tua kini sakit-sakitan. Tiwilah satu-satunya harapan keluarga,
sehingga ia pun memutuskan untuk berhenti sekolah, meskipun dia termasuk siswa
yang berprestasi di sekolah. Namun, putus sekolah tak menyurutkan semangatnya
untuk terus menuntut ilmu. Setiap dua hari sekali, Tiwi selalu meluangkan
waktunya untuk mengunjungi perpustakaan
yang ada didesanya.
***
Tidak
seperti biasanya, pagi ini jalanan menuju pasar begitu sepi dan begitu gelap
mencekam. Mungkin, hujan deras yang menghiasi subuh hari ini, membuat banyak
orang malas untuk pergi ke pasar. Tapi, hujan tersebut tidak sama sekali
menyurutkan semangat Tiwi untuk berjualan. Di tengah derasnya hujan, tiba-tiba
sebuah lampu mobil menyoroti jalanan di depan Tiwi dari arah belakang.
Mobil
itu terus melaju hingga akhirnya menginjak
genangan air yang tepat berada di samping Tiwi. Dalam hitungan detik saja,
genangan air itu pun menyembur ke arah Tiwi. Seketika baju pink yang dikenakan
Tiwi menjadi basah dan bakul nasi yang ia bawa pun ikut terkena cipratan
genangan air itu. Tiwi yang begitu kaget itu pun hanya bisa berdiri diam dengan
mulut menganga sambil menatap mobil putih yang terus menjauh.
Tiba-tiba,
sesosok laki-laki mengeluarkan kepalanya sambil berteriak kepada Tiwi, “ Woy,
kalau jalan liat-liat dong!”
“Walah,
kamu itu yang kalo jalan ati-ati! Gak liat apa itu ada genangan! Dasar gila!!”
umpat Tiwi setelah menyadari bahwa ia menjadi korban yang dipersalahkan dalam
kasus ini.
Mendadak
semangat Tiwi untuk melanjutkan perjalanannya menjadi surut. Dagangan nasi kuningnya
juga sudah terkena genangan air.Dengan amarahnya yang masih meluap-luap, ia
bergegas meninggalkan tempat itu menuju rumahnya.
Sesampainya
di rumah, ia di sambut oleh pertanyaan bingung dari ibunya, “Lah, gak jadi
jualan, nduk? Baju kamu kok basah
semua toh, nduk?”
“Tadi
ada sedikit masalah di jalan, tapi Tiwi gapapa kok, bu. Justru Tiwi yang mau
minta maaf ke ibu, soalnya hari ini Tiwi ga bisa jualan. Nasi kuningnya
kecipratan air. Yaudah, Tiwi masuk dulu ya, bu. Tiwi mau ganti baju sekalian
mau buka warung,” jelas Tiwi yang kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Seusai
berganti baju, Tiwi pun bergegas membuka warung yang berada di depan rumahnya.
Di warungnya, Tiwi menjual nasi kuning, kopi hitam, dan juga beberapa barang
kebutuhan sehari-hari. Warung Tiwi selalu ramai dikunjungi karena sikapnya yang
terkenal selalu ramah kepada semua orang. Para pemuda desa juga sering
duduk-duduk sambil minum kopi di warungnya.
***
“Kakeekk...”
seorang laki-laki turun dari sebuah mobil putih di depan sebuah rumah yang
sangat megah.
“Wah
wah wahh... Cucu kesayangan kakek udah datang, toh,” sambut kakek dengan
hangat.
“Bi,
tolong bawakan barang-barang Varel ke kamar, ya” perintah kakek kepada
pembantunya.
“Iya,
kek” jawab pembantunya singkat.
“Wah,
desa ini ga berubah ya, kek. Masih sejuk seperti yang dulu,” ucap laki-laki
yang bernama Varel itu.
“Walah
walah, leh. Bilang aja toh kalo kangen sama kakekmu ini” kata
kakek dengan logat jawanya yang masih kental.
“Haha,
kakek tau aja. Iya nih kek, Varel lagi bete banget sama mami yang kerjaannya
ngomel-ngomel melulu dirumah. Mending Varel kesini deh, lebih sejuk dan tenang,”
jawab Varel.
“Yowes,
sekarang kamu istirahat aja di dalam. Kakek mau ke warung kopi di depan dulu,
ya” ucap kakek.
“Varel
boleh ikut ga, kek? Varel pingin keliling desa sekalian ngelepas bete. Lagian,
Varel juga ga capek kok, kek. Boleh ya, kek?? Please.” kata Varel dengan muka
memelas.
“Wah,
pasti bolehlah. Ayo kita keliling!” ajak kakek.
Mereka
berdua pun berjalan menuju warung kopi.
***
“Pagi,
nak Tiwi” Tiwi dikagetkan oleh sebuah suara yang sudah tak asing lagi
ditelinganya.
“Eh,
kakek. Apa kabar, kek?” sambut Tiwi sambil tersenyum kepada kakek Joko.
“Alhamdulillah
baik, nak. Kopinya 2, ya. Satunya seperti biasa, ga pake gula” jawab kakek.
Kakek
Joko adalah orang terkaya di kampungnya. Uangnya berlimpah, tanahnya
dimana-mana dan sawahnya berhektar-hektar luasnya. Namun, meskipun ia kaya, ia
selalu hidup sederhana dan ramah kepada semua penduduk desa. Kekayaannya
digunakan untuk membuat masjid, panti asuhan, dan menyantuni fakir miskin. Tak
hanya itu, dengan kemurahan hatinya, ia juga sering meminjamkan uangnya kepada
warga desa yang membutuhkan tanpa pungutan bunga sepersen pun. Salah satu warga
yang meminjam uang kepada kakek Joko adalah Tiwi.
Setiap
hari, kakek Joko selalu menyempatkan dirinya untuk minum kopi di warung Tiwi.
Tapi ada yang sedikit berbeda hari ini, kakek Joko tidak datang sendirian. Di
sebelahnya, terlihat seorang laki-laki yang sedang sibuk memainkan gadget
miliknya. Dari lagak-lagaknya, Tiwi
seperti pernah bertemu dengannya. Tapi, Tiwi tidak ingat siapa dia.
Tak
membutuhkan waktu yang lama, 2 kopi pesanan kakek pun sudah jadi.
“Ini
kopinya, kek. Silahkan di minum,” kata Tiwi dengan sopan.
Saat
Tiwi hendak kembali ke dalam warung, tiba-tiba saja kakek mencegahnya, “Oya,
nak Tiwi,” kata Kakek.
“Ini
Varel, cucu saya yang datang dari Jakarta. Varel, ini Tiwi, gadis cantik yang
biasa kakek bicarakan ke kamu,” lanjut kakek memperkenalkan Tiwi dengan lelaki
yang sedari tadi sibuk memainkan gadgetnya.
Kepala
lelaki itu pun perlahan mengadah ke arah Tiwi. Sontak Tiwi dan lelaki yang
bernama Varel itu kaget setelah melihat satu sama lain.
“Kamuu??”
ucap mereka secara bersamaan.
“Walah
walah, jadi kalian udah saling kenal?” kata kakek dengan bahagia.
“Kek,
cewek ini nih, yang udah bikin Varel bete pagi-pagi, dia yang ngehalangi
jalannya mobil Varel,” ucap Varel sambil menunjuk ke arah Tiwi.
“Ih,
kok jadi kamu yang marah-marah ke aku, sih? Aku yang harusnya minta ganti rugi
ke kamu! Denger ya, gara-gara kamu tadi nyipratin air ke aku, aku ga bisa
jualan nasi kuning, tau ga?!” balas Tiwi sambil menunjuk Varel dengan amarah
yang meluap-luap.
“Sudah
sudah. Kalian ini apa-apaan, sih?! Kayak anak kecil saja. Varel, ayo segera
minta maaf ke Tiwi,” kata kakek melerai perkelahian mereka berdua.
“Loh,
kok Varel yang minta maaf, sih? Itu kan salahnya sendiri,” ucap Varel membela.
“Iya,
kamu yang harus minta maaf ke Tiwi sekarang!” tegas kakek.
Varel
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian ia berlari pergi meninggalkan
kakek dan Tiwi.
Bersambung....