Jumat, 20 Juni 2014

Contoh Esai

SMAN 10 Samarinda, sekolah saya, merupakan salah satu sekolah yang menekankan kepada siswa-siswinya agar selalu berpikir kritis terhadap segala bentuk permasalahan di dalam kehidupan. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, SMAN 10 Samarinda mengadakan kegiatan rutin tiap semester berupa lomba membuat esai atau artikel oleh siswa yang didalamnya berisi tentang pandangan siswa terhadap suatu hal. Alhamdulillah, dalam perlombaan tersebut, saya meraih juara 5. Yaaa, lumayan lah bagi saya sebagai pemula. 
Kali ini, saya mau nge-post esai saya yang berhasil mendapatkan juara 5 tadi. Namun, karena saya disini masih sebagai pemula yang pastinya tak luput dari kesalahan, saya sangat memohon kepada pembaca, apabila ada kritik dan saran, tolong diberikan komentar kepada saya. 
Akhir kata, semoga esai saya dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. :)


         Budaya Malu, Budayanya Indonesia

                      oleh: Sherly Indriana (X MIPA H)

Peraturan merupakan segala sesuatu yang sengaja dibuat untuk menertibkan masyarakat yang ada didalamnya. Lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, bahkan dalam lingkungan negara, semuanya memiliki peraturan yang harus ditaati.
Namun, pada kenyataannya peraturan yang dibuat kerap kali dilanggar. Penyebab mereka melanggar peraturan tersebut adalah mereka belum terbiasa dengan peraturan baru yang mungkin sangat berbanding terbalik dengan peraturan sebelumnya. Selain itu, faktor lain penyebab pelanggaran adalah kurangnya penanaman budaya malu dalam diri masing-masing.
Budaya malu mungkin sering dianggap sepele, namun budaya malu inilah yang membangun dan menentukan bagaimana pribadi kita kedepannya. Logikanya, jika semua orang memiliki budaya malu, maka tak akan ada yang namanya pelanggaran. Dan jika tidak ada pelanggaran, maka Indonesia akan lebih aman dan sejahtara masyarakatnya. Maka, penanaman budaya malu yang dimulai dari diri kita sangat berdampak besar bagi kemajuan negara yang kita cintai ini, Indonesia.
            Budaya malu merupakan sebuah pola hidup masyarakat yang dimana terdapat sebuah kesadaran dari diri sendiri untuk tidak melakukan hal-hal yang kurang pantas dilakukan. Mengingat budaya kita, budaya timur merupakan budaya yang menjunjung tinggi aspek sopan santun, maka budaya malu sudah seharusnya diterapkan disegala lingkungan kehidupan, salah satunya adalah lingkungan pendidikan, lingkungannya para pelajar.
            Di tempat pendidikan, yaitu sekolah, mungkin kita sering menjumpai slogan-slogan yang berbau budaya malu, seperti “Tumbuhkan Budaya Malu di Sekolah” atau “Saya Malu ketika Saya Datang Terlambat”, dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa sekolah dan lembaga pendidikan sangat menginginkan budaya malu ini sudah tertanam sejak kita semua masih duduk di bangku sekolah.
Selain slogan, di lingkungan sekolah kita juga sering menjumpai poster-poster yang berisi tentang “7 Budaya Malu di Sekolah”, yang isinya adalah sebagai berikut:
  1. Saya malu karena datang ke sekolah terlambat.
  2. Saya malu karena tidak mengerjakan PR.
  3. Saya malu karena mencontek.
  4. Saya malu karena tidak berseragam rapi dan sesuai ketentuan.
  5. Saya malu karena tidak berperan aktif dalam mewujudkan kebersihan lingkungan sekolah.
  6. Saya malu karena tidak memiliki tata krama dan sopan santun.
  7. Saya malu karena belajar tidak berprestasi.

            Namun, seperti halnya yang sudah saya sebutkan di atas, saat ini tak jarang kita temukan pelajar yang tak berbudaya malu. Hal tersebut sudah sangat nyata terlihat dan sudah mulai menjadi kebiasaan mereka. Sungguh hal ini sangat memprihatinkan, apalagi itu semua dilakukan oleh putra-putri generasi penerus bangsa Indonesia.
Berikut ini beberapa contoh kecil mengenai rendahnya budaya malu di kalangan pelajar Indonesia.
            Pertama, datang ke sekolah terlambat. Pastinya kita sering mendengar pepatah inggris yang mengatakan “time is money” yang artinya waktu adalah uang. Misalnya Anda adalah seorang pemimpin perusahaan tambang batu bara terbesar di Kalimantan Timur. Anda berencana untuk bekerja sama dengan sebuah perusahaan transportasi laut yang ada di Jawa sehingga bisnis Anda akan semakin lancar. Ketika Anda terlambat 5 detik saja dalam meeting tersebut, mungkin Anda akan kehilangan uang bermilyar-milyar bahkan hingga bertriliyun-triliyun rupiah. Percaya atau tidak, kita semua harus percaya, karena sudah banyak orang yang mengalami hal tersebut. Sehingga dapat kita simpulkan, betapa berharganya waktu dalam hidup kita, meskipun itu hanya sepersekian detik.
Hal tersebut juga berlaku ketika kita datang terlambat. Ketika kita terlambat masuk sekolah, biasanya akan banyak bermunculan alasan-alasan yang kita katakan agar kita tidak terkena sanksi dari guru piket atau lainnya. Mungkin alasan tersebut dapat dimaklumi oleh guru piket dan kita diperbolehkan memasuki ruang kelas tanpa hukuman.
Namun, tahukah Anda? Secara kasat mata, kita mungkin tidak mengalami kerugian karena kita tidak dihukum guru piket. Namun, sebenarnya kita mengalami sebuah kerugian yang sangat besar. Kalau kerugian itu kita anggap sebagai luka, maka ketika kita terlambat berarti kita mengalami sebuah luka yang amat dalam yang dimana luka tersebut tidak ada obatnya.
Luka yang dimaksud adalah ketika kita kehilangan satu dua materi pelajaran yang telah dibahas pada lima menit pertama ketika masuk jam pelajaran. Bisa kita bayangkan bukan, bagaimana rasanya ketika yang lain sudah mengerti hingga materi B, sedangkan kita tidak. Itulah salah satu dari sekian banyak dampak tak kasat mata dari keterlambatan kita masuk ke sekolah. Selain itu, dampak tersebut juga terjadi ketika kita meninggalkan kelas sebelum jam pelajaran selesai dan mengabaikan penjelasan guru yang mengajar di depan kelas.
Yang kedua adalah tidak mengerjakan dan mengumpulkan PR (Pekerjaan Rumah) atau tugas dengan tepat waktu. Padalah, dalam poster yang banyak ditempel di lingkungan sekolah, telah jelas disebutkan “Saya Malu ketika saya tidak mengerjakan PR”.
Sekolah merupakan lembaga yang tidak hanya mengajarkan, tapi juga mendidik kita agar bisa menjadi manusia yang berguna bagi nusa, bangsa, dan tanah air Indonesia. Kita dididik dan dipersiapkan sebagai generasi-generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin Indonesia kelak. Oleh karena itu, sejak belajar di sekolah, kita sudah banyak dituntut untuk terus bekerja keras dan bertanggung jawab dengan PR atau tugas kita masing-masing.
Jikalau kita tak bisa menyelesaikan tugas itu tepat waktu, berarti kita telah gagal dalam me-manage atau mengatur diri dan waktu belajar kita. Kalau kita saja sudah tidak bisa mengatur diri kita sendiri, bagaimana kita bisa mengatur hidup berjuta-juta orang lainnya di negeri ini saat kita menjadi Presiden nantinya? Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita malu karena kita tidak mengerjakan PR.
Lalu bagaimana dengan mencontek? Kita semua pastinya tahu bahwa mencontek itu merupakan tindakan yang tak terpuji, karena mencontek sebagian dari mencuri. Mungkin dengan mencontek kita mendapatkan nilai sempurna. Tapi bagaimana dengan kerugian dari mencontek?
Mencontek itu merugikan diri sendiri dan orang lain. Memang kita mendapatkan nilai sempurna ketika mencontek PR teman, tapi apakah bisa kita mendapatkan kembali nilai tersebut ketika ulangan harian? Mungkin saja bisa.
Ada yang bisa karena dirinya taubat dan belajar keras untuk mendapat nilai sempurna itu lagi, berarti dia menjalani ujian dengan jalan yang halal. Namun, ada juga orang yang memutuskan untuk kembali mencontek jawaban ujian temannya, yang berarti dia kembali mendapatkan nilai dengan jalan yang haram.
Jika dia terus menerus melakukan perbuatan haram dan tak terpuji seperti itu, mungkin dampaknya belum terlihat saat ini, tapi 10 hingga 20 tahun kedepan dalam hidupnya. Ketika ia memasuki dunia kerja, ia tak punya modal dan skill apapun karena semua hasil belajarnya adalah hasil dari mencontek.
Apakah kita mau terus mencontek dan menjadi orang bodoh saat bekerja nantinya? Tentu tidak, bukan? Oleh karena itu, berhentilah untuk mencontek mulai dari sekarang. Tanamkan prinsip lebih baik nilai redah hasil keringat sendiri, daripada nilai sempurna tapi mencuri keringat orang lain.
Kemudian yang keempat adalah tidak berseragam dan beratribut sekolah dengan  lengkap, rapi, serta sesuai ketentuan. Tak hanya kebersihan, kerapian pun merupakan sebagian dari iman. Oleh karenanya, kita dituntut untuk rapi dalam berseragam. Selain itu, kalau kita rapi dalam berseragam, enak dan nyaman juga dipandang oleh orang lain.
Kita diwajibkan untuk menggunakan seragam lengkap karena seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, dalam bersekolah kita dituntut untuk belajar disiplin. Dengan memakai seragam lengkap berarti kita menunjukkan bahwa kita adalah anak Indonesia yang disiplin dan taat pada peraturan yang ada.
Contoh pelanggaran budaya malu lainnya adalah tidak memiliki tata krama dan sopan santun dalam berkata dan berperilaku. Kita semua tahu bahwa masyarakat timur sangat menjunjung tinggi nilai sopan santun dalam kehidupan. Tak hanya sopan kepada yang lebih tua, tapi juga kepada yang lebih muda dan juga kepada orang yang sebaya dengan kita.
Hal tersebut sesuai dengan kata orang zaman dahulu yang mengatakan bahwa kalau kita ingin dihargai, maka kita harus terlebih dahulu menghargai orang lain. Karena begitu pentingnya, maka tak berlebihan apabila di Indonesia terdapat undang-undang yang mengatur tentang menghargai hak orang lain dan adanya hak asasi manusia dalam diri masing-masing orang.
Sehubungan dengan hak, mungkin sering kita dengar dan banyak kita temukan masalah pelajar berdemonstrasi untuk meminta haknya. Misalnya saja demonstrasi penuntutan hak hari libur di depan sekolah. Seharusnya kita malu karena hanya bisa menuntut saja tapi tidak melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Kewajiban kita ketika bersekolah adalah belajar, bukan untuk libur dan having fun.
Pertanyaannya, apakah pelajar yang berdemo itu sudah belajar dengan sebaik-baiknya dan telah banyak mengukir prestasi untuk sekolah? Prestasi yang baik ataukah buruk? Seharusnya para pelajar memprioritaskan berpikir dalam hal  apa dan prestasi yang bagaimana yang dapat diberikan kepada sekolah, bukannya menuntut hal-hal yang mengurangi jam kegiatan belajar di sekolah.
Selain itu, sebagai pelajar kita juga harus mulai berpikir untuk selalu berusaha melakukan yang terbaik, bukan ‘seadanya yang penting ada’ atau ‘seadanya yang penting kumpul’. Mungkin tidak sempurna hasilnya, karena tidak ada yang memiliki kesempurnaan di dunia ini selain Dia, tapi proses yang kita jalani dalam berusaha melakukan yang terbaik tersebut dapat menjadikan diri kita untuk tidak mudah puas atas apa yang kita dapatkan. Sehingga kita akan terus berusaha dan dapat menciptakan inovasi-inovasi baru.
Kesimpulannya, untuk menjadi negara yang besar kita harus memulainya dari hal-hal yang kecil. Kita dapat memulainya dari diri masing-masing dengan menanamkan budaya malu dalam berkehidupan di lingkungan sekolah, tempat kita menuntut ilmu. Kalau dari kecil malu sudah tertanam dalam diri kita, maka ketika kita besar nanti dan kita menjadi pemimpin bangsa ini, kita tak akan malu-maluin. Kita menjadi pemimpin yang dapat menjadikan ‘bangsa Indonesia berbudaya malu’ bukan ‘budaya Indonesia bikin malu’.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar