SMAN 10 Samarinda, sekolah saya, merupakan salah satu sekolah yang menekankan kepada siswa-siswinya agar selalu berpikir kritis terhadap segala bentuk permasalahan di dalam kehidupan. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut, SMAN 10 Samarinda mengadakan kegiatan rutin tiap semester berupa lomba membuat esai atau artikel oleh siswa yang didalamnya berisi tentang pandangan siswa terhadap suatu hal. Alhamdulillah, dalam perlombaan tersebut, saya meraih juara 5. Yaaa, lumayan lah bagi saya sebagai pemula.
Kali ini, saya mau nge-post esai saya yang berhasil mendapatkan juara 5 tadi. Namun, karena saya disini masih sebagai pemula yang pastinya tak luput dari kesalahan, saya sangat memohon kepada pembaca, apabila ada kritik dan saran, tolong diberikan komentar kepada saya.
Akhir kata, semoga esai saya dapat memberikan manfaat bagi para pembaca. :)
Budaya Malu, Budayanya Indonesia
oleh: Sherly Indriana (X MIPA H)
Peraturan merupakan segala
sesuatu yang sengaja dibuat untuk menertibkan masyarakat yang ada didalamnya.
Lingkungan sekolah, keluarga, masyarakat, bahkan dalam lingkungan negara,
semuanya memiliki peraturan yang harus ditaati.
Namun, pada kenyataannya
peraturan yang dibuat kerap kali dilanggar. Penyebab mereka melanggar peraturan
tersebut adalah mereka belum terbiasa dengan peraturan baru yang mungkin sangat
berbanding terbalik dengan peraturan sebelumnya. Selain itu, faktor lain
penyebab pelanggaran adalah kurangnya penanaman budaya malu dalam diri
masing-masing.
Budaya malu mungkin sering
dianggap sepele, namun budaya malu inilah yang membangun dan menentukan
bagaimana pribadi kita kedepannya. Logikanya, jika semua orang memiliki budaya
malu, maka tak akan ada yang namanya pelanggaran. Dan jika tidak ada
pelanggaran, maka Indonesia akan lebih aman dan sejahtara masyarakatnya. Maka,
penanaman budaya malu yang dimulai dari diri kita sangat berdampak besar bagi
kemajuan negara yang kita cintai ini, Indonesia.
Budaya
malu merupakan sebuah pola hidup masyarakat yang dimana terdapat sebuah
kesadaran dari diri sendiri untuk tidak melakukan hal-hal yang kurang pantas
dilakukan. Mengingat budaya kita, budaya timur merupakan budaya yang menjunjung
tinggi aspek sopan santun, maka budaya malu sudah seharusnya diterapkan
disegala lingkungan kehidupan, salah satunya adalah lingkungan pendidikan,
lingkungannya para pelajar.
Di
tempat pendidikan, yaitu sekolah, mungkin kita sering menjumpai slogan-slogan
yang berbau budaya malu, seperti “Tumbuhkan Budaya Malu di Sekolah” atau “Saya
Malu ketika Saya Datang Terlambat”, dan masih banyak lagi. Hal tersebut
membuktikan bahwa sekolah dan lembaga pendidikan sangat menginginkan budaya
malu ini sudah tertanam sejak kita semua masih duduk di bangku sekolah.
Selain slogan, di lingkungan
sekolah kita juga sering menjumpai poster-poster yang berisi tentang “7 Budaya
Malu di Sekolah”, yang isinya adalah sebagai berikut:
- Saya malu karena datang ke sekolah terlambat.
- Saya malu karena tidak mengerjakan PR.
- Saya malu karena mencontek.
- Saya malu karena tidak berseragam rapi dan sesuai ketentuan.
- Saya malu karena tidak berperan aktif dalam mewujudkan kebersihan lingkungan sekolah.
- Saya malu karena tidak memiliki tata krama dan sopan santun.
- Saya malu karena belajar tidak berprestasi.
Namun,
seperti halnya yang sudah saya sebutkan di atas, saat ini tak jarang kita
temukan pelajar yang tak berbudaya malu. Hal tersebut sudah sangat nyata
terlihat dan sudah mulai menjadi kebiasaan mereka. Sungguh hal ini sangat
memprihatinkan, apalagi itu semua dilakukan oleh putra-putri generasi penerus
bangsa Indonesia.
Berikut ini beberapa contoh
kecil mengenai rendahnya budaya malu di kalangan pelajar Indonesia.
Pertama,
datang ke sekolah terlambat. Pastinya kita sering mendengar pepatah inggris
yang mengatakan “time is money” yang
artinya waktu adalah uang. Misalnya Anda adalah seorang pemimpin perusahaan
tambang batu bara terbesar di Kalimantan Timur. Anda berencana untuk bekerja
sama dengan sebuah perusahaan transportasi laut yang ada di Jawa sehingga
bisnis Anda akan semakin lancar. Ketika Anda terlambat 5 detik saja dalam meeting tersebut, mungkin Anda akan
kehilangan uang bermilyar-milyar bahkan hingga bertriliyun-triliyun rupiah.
Percaya atau tidak, kita semua harus percaya, karena sudah banyak orang yang
mengalami hal tersebut. Sehingga dapat kita simpulkan, betapa berharganya waktu
dalam hidup kita, meskipun itu hanya sepersekian detik.
Hal tersebut juga berlaku
ketika kita datang terlambat. Ketika kita terlambat masuk sekolah, biasanya
akan banyak bermunculan alasan-alasan yang kita katakan agar kita tidak terkena
sanksi dari guru piket atau lainnya. Mungkin alasan tersebut dapat dimaklumi
oleh guru piket dan kita diperbolehkan memasuki ruang kelas tanpa hukuman.
Namun, tahukah Anda? Secara
kasat mata, kita mungkin tidak mengalami kerugian karena kita tidak dihukum
guru piket. Namun, sebenarnya kita mengalami sebuah kerugian yang sangat besar.
Kalau kerugian itu kita anggap sebagai luka, maka ketika kita terlambat berarti
kita mengalami sebuah luka yang amat dalam yang dimana luka tersebut tidak ada
obatnya.
Luka yang dimaksud adalah
ketika kita kehilangan satu dua materi pelajaran yang telah dibahas pada lima
menit pertama ketika masuk jam pelajaran. Bisa kita bayangkan bukan, bagaimana
rasanya ketika yang lain sudah mengerti hingga materi B, sedangkan kita tidak.
Itulah salah satu dari sekian banyak dampak tak kasat mata dari keterlambatan
kita masuk ke sekolah. Selain itu, dampak tersebut juga terjadi ketika kita
meninggalkan kelas sebelum jam pelajaran selesai dan mengabaikan penjelasan
guru yang mengajar di depan kelas.
Yang kedua adalah tidak
mengerjakan dan mengumpulkan PR (Pekerjaan Rumah) atau tugas dengan tepat waktu.
Padalah, dalam poster yang banyak ditempel di lingkungan sekolah, telah jelas
disebutkan “Saya Malu ketika saya tidak mengerjakan PR”.
Sekolah merupakan lembaga yang
tidak hanya mengajarkan, tapi juga mendidik kita agar bisa menjadi manusia yang
berguna bagi nusa, bangsa, dan tanah air Indonesia. Kita dididik dan
dipersiapkan sebagai generasi-generasi penerus bangsa, menjadi pemimpin
Indonesia kelak. Oleh karena itu, sejak belajar di sekolah, kita sudah banyak
dituntut untuk terus bekerja keras dan bertanggung jawab dengan PR atau tugas
kita masing-masing.
Jikalau kita tak bisa
menyelesaikan tugas itu tepat waktu, berarti kita telah gagal dalam me-manage atau mengatur diri dan waktu
belajar kita. Kalau kita saja sudah tidak bisa mengatur diri kita sendiri,
bagaimana kita bisa mengatur hidup berjuta-juta orang lainnya di negeri ini
saat kita menjadi Presiden nantinya? Oleh karenanya, sudah sepatutnya kita malu
karena kita tidak mengerjakan PR.
Lalu bagaimana dengan
mencontek? Kita semua pastinya tahu bahwa mencontek itu merupakan tindakan yang
tak terpuji, karena mencontek sebagian dari mencuri. Mungkin dengan mencontek
kita mendapatkan nilai sempurna. Tapi bagaimana dengan kerugian dari mencontek?
Mencontek itu merugikan diri
sendiri dan orang lain. Memang kita mendapatkan nilai sempurna ketika mencontek
PR teman, tapi apakah bisa kita mendapatkan kembali nilai tersebut ketika
ulangan harian? Mungkin saja bisa.
Ada yang bisa karena dirinya
taubat dan belajar keras untuk mendapat nilai sempurna itu lagi, berarti dia
menjalani ujian dengan jalan yang halal. Namun, ada juga orang yang memutuskan
untuk kembali mencontek jawaban ujian temannya, yang berarti dia kembali
mendapatkan nilai dengan jalan yang haram.
Jika dia terus menerus
melakukan perbuatan haram dan tak terpuji seperti itu, mungkin dampaknya belum
terlihat saat ini, tapi 10 hingga 20 tahun kedepan dalam hidupnya. Ketika ia
memasuki dunia kerja, ia tak punya modal dan skill apapun karena semua hasil belajarnya adalah hasil dari
mencontek.
Apakah kita mau terus mencontek
dan menjadi orang bodoh saat bekerja nantinya? Tentu tidak, bukan? Oleh karena
itu, berhentilah untuk mencontek mulai dari sekarang. Tanamkan prinsip lebih
baik nilai redah hasil keringat sendiri, daripada nilai sempurna tapi mencuri
keringat orang lain.
Kemudian yang keempat adalah
tidak berseragam dan beratribut sekolah dengan
lengkap, rapi, serta sesuai ketentuan. Tak hanya kebersihan, kerapian
pun merupakan sebagian dari iman. Oleh karenanya, kita dituntut untuk rapi
dalam berseragam. Selain itu, kalau kita rapi dalam berseragam, enak dan nyaman
juga dipandang oleh orang lain.
Kita diwajibkan untuk
menggunakan seragam lengkap karena seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya,
dalam bersekolah kita dituntut untuk belajar disiplin. Dengan memakai seragam
lengkap berarti kita menunjukkan bahwa kita adalah anak Indonesia yang disiplin
dan taat pada peraturan yang ada.
Contoh pelanggaran budaya malu
lainnya adalah tidak memiliki tata krama dan sopan santun dalam berkata dan
berperilaku. Kita semua tahu bahwa masyarakat timur sangat menjunjung tinggi
nilai sopan santun dalam kehidupan. Tak hanya sopan kepada yang lebih tua, tapi
juga kepada yang lebih muda dan juga kepada orang yang sebaya dengan kita.
Hal tersebut sesuai dengan kata
orang zaman dahulu yang mengatakan bahwa kalau kita ingin dihargai, maka kita
harus terlebih dahulu menghargai orang lain. Karena begitu pentingnya, maka tak
berlebihan apabila di Indonesia terdapat undang-undang yang mengatur tentang
menghargai hak orang lain dan adanya hak asasi manusia dalam diri masing-masing
orang.
Sehubungan dengan hak, mungkin sering
kita dengar dan banyak kita temukan masalah pelajar berdemonstrasi untuk
meminta haknya. Misalnya saja demonstrasi penuntutan hak hari libur di depan
sekolah. Seharusnya kita malu karena hanya bisa menuntut saja tapi tidak
melakukan kewajiban sebagaimana mestinya. Kewajiban kita ketika bersekolah
adalah belajar, bukan untuk libur dan having
fun.
Pertanyaannya, apakah pelajar
yang berdemo itu sudah belajar dengan sebaik-baiknya dan telah banyak mengukir
prestasi untuk sekolah? Prestasi yang baik ataukah buruk? Seharusnya para pelajar
memprioritaskan berpikir dalam hal apa
dan prestasi yang bagaimana yang dapat diberikan kepada sekolah, bukannya menuntut
hal-hal yang mengurangi jam kegiatan belajar di sekolah.
Selain itu, sebagai pelajar
kita juga harus mulai berpikir untuk selalu berusaha melakukan yang terbaik,
bukan ‘seadanya yang penting ada’ atau ‘seadanya yang penting kumpul’. Mungkin
tidak sempurna hasilnya, karena tidak ada yang memiliki kesempurnaan di dunia
ini selain Dia, tapi proses yang kita jalani dalam berusaha melakukan yang
terbaik tersebut dapat menjadikan diri kita untuk tidak mudah puas atas apa
yang kita dapatkan. Sehingga kita akan terus berusaha dan dapat menciptakan
inovasi-inovasi baru.
Kesimpulannya, untuk menjadi
negara yang besar kita harus memulainya dari hal-hal yang kecil. Kita dapat
memulainya dari diri masing-masing dengan menanamkan budaya malu dalam
berkehidupan di lingkungan sekolah, tempat kita menuntut ilmu. Kalau dari kecil
malu sudah tertanam dalam diri kita, maka ketika kita besar nanti dan kita
menjadi pemimpin bangsa ini, kita tak akan malu-maluin. Kita menjadi pemimpin
yang dapat menjadikan ‘bangsa Indonesia berbudaya malu’ bukan ‘budaya Indonesia
bikin malu’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar