Seorang ahli ekonomi dari Swedia memasukkan negara
kita, Indonesia, ke dalam kelompok “negara-negara lunak” (soft states). Mengapa disebut demikian? Menurut saya, mereka
menyebut seperti itu karena negara kita ini minim akan disiplin sosial. Disini
yang saya maksud adalah kelemahan dan kesewenangan yang bisa, atau malah sudah
biasa disalah gunakan untuk kepentingan pribadi oleh orang-orang yang memiliki
kekuatan terutama orang-orang kelas atas. Tapi tak menutup kemungkinan
orang-orang kelas bawah tak melakukannya. Gejala-gejala ini sering kita sebut
dengan istilah korupsi, yang kini telah mengakar dalam budaya bangsa kita.
Negeri kita ini kadang terlihat
lucu. Bayangkan saja, dulu saat negara kita masih dalam masa penjajahan
kolonial Belanda, Indonesia bebas dari korupsi. Lalu mengapa Indonesia menjadi
negeri paling korup setelah beberapa tahun kemerdekaannya?
Menurut saya, itu terjadi karena sebagian tenaga
pemerintahan kita kurang ahli dan kurang berpengalaman. Keadaan kurang ahli dan
tiadanya pengalaman itu mempunyai akibat pada mundurnya produktivitas kerja. Mundurnya
produktivitas membuat kita memanen hasil kerja yang kurang memuaskan. Gaji
pegawai negeri kian merendah yang akhirnya ikut membukakan pintu mereka bagi
praktik korupsi di Indonesia.
Efek terburuk dari meningkatnya
korupsi di negara Indonesia menurut saya adalah sikap dan kemauan kita untuk
bertahan melawan “godaan” menerima
suap dari sang koruptor. Misalnya saja kita mengetahui dia melakukan tindakan
korupsi. Dia pun menyogok kita dengan memberikan uang tutup mulut. Kalau kita
menolak, berarti kita tidak melakukan korupsi. Tapi apabila kita menerimanya,
kita berarti bertindak korupsi. Inilah yang akhirnya menjadi berkembang luas di
negara kita.
Mungkin bisa dikatakan tidak ada
jalan untuk memberantas korupsi selain daripada kemauan yang kuat dari diri
sendiri untuk tidak melakukannya dan keteladanan dari seorang pemimpin. Tekad memberantas korupsi dari keteguhan
hati sendiri untuk tidak korup merupakan problem etika dari kararkter
seseorang.
Misalnya saja kita sedang di suap
oleh seseorang. Kalau kita memiliki karakter yang baik, terbiasa jujur dan
mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, kita pasti dengan
tegas akan menentang dan menolak suap dari orang itu, atau bahkan akan
melaporkan pada pihak berwajib. Tapi, kalau kita terlahir dari pendidikan yang
kurang baik yang akhirnya menghasilkan karakter yang tak baik, kemungkinan besar bila di suap, kita
akan menerimanya.
Karena keputusan mengenai korupsi,
memberantasnya atau tidak, mengikutinya atau menolak, membiarkannya atau
menghalangi, bahkan peduli kepadanya atau tidak peduli, sebenarnya merupakan
sebuah pilihan kita sendiri. Tapi, tak lupa semua yang kita lakukan memerlukan
tanggung jawab kita pada diri kita dan kepada Tuhan yang telah menciptakan
kita. Sebab perbuatan baik manusia bukanlah “untuk kepentingan” Tuhan,
melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Jadi, lakukan jika itu benar,
dan acuhkan bila itu tidak baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar