Kamis, 26 September 2013

metode pidato

Ada empat macam metode untuk membawakan sebuah pidato, yaitu sebagai berikut.
a.       Metode Impromptu
Metode Impromptu (serta merta) adalah metode berbicara berdasarkan kebutuhan sesaat. Tidak ada persiapan bagi kesempatan tertentu. Pembicara secara serta merta berbicara berdasarkan pengetahuan dan kemahirannya. Kesanggupan berpidato menurut cara ini sangat berguna dalam keadaan darurat, tetapi kegunaannya terbatas pada kesempatan yang tidak diharapkan itu saja.
b.      Metode Menghafal
Metode ini merupakan lawan dari metode pertama tersebut di atas. Pidato yang dibawakan dengan metode ini bukan saja direncanakan, tetapi di tulis secara lengkap kemudian di hafal kata demi kata. Ada pembicara yang dapat berhasil dengan metode ini, tetapi lebih sering menjemukan dan tidak menarik. Ada kecenderungan untuk berbicara cepat-cepat, mengeluarkan kata-kata tanpa penghayatan maknanya. Cara ini juga menyulitkan pembicara menyesuaikan dirinya dengan situasi dan reaksi-reaksi pendengar sewaktu mengucapkan pidatonya itu.
c.       Metode Naskah
Metode ini sering di pakai terutama dalam pidato-pidato resmi atau pidato-pidato radio dan televisi. Metode ini agak kaku karena seolah-olah ada tabir antara pembicara dan pendengarnya. Mata pembicara selalu ditujukan kepada naskah sehingga ia tak bebas untuk menatap para pendengar. Bila pembicara bukan seorang ahli, maka ia tidak dapat memberi tekanan dan variasi suara untuk menghidupkan pembicaraannya. Kelemahan metode ini dapat diperkecil dengan latihan-latihan yang intensif.
d.      Metode Ekstemporan

Metode ekstemporan (tanpa persiapan naskah) sangat dianjurkan karena merupakan jalan tengah. Pidato yang dibawakan dengan metode ini direncanakan dengan cermat dan di beri kerangka (outline) yang terperinci. Kadang-kadang disiapkan sebuah rancangan dengan tidak perlu menghafal kata-katanya. Dengan mempergunakan kerangka tersebut, pembicara dengan bebas berbicara serta bebas pula memilih kata-katanya sendiri. Kerangka itu hanya digunakan untuk mengingat urutan-urutan ide atau gagasannya. Metode ini lebih banyak memberikan keluwesan dan variasi dalam pemakaian kata-kata dan ungkapan. Demikian pula pembicara dapat mengubah nada pembicaraannya sesuai dengan reaksi-reaksi yang timbul dari para pendengar. Sebaliknya bila metode ini terlalu bersifat sketsa, maka hasilnya sama dengan metode impromptu.

KORUPSI itu pilihan

Seorang ahli ekonomi dari Swedia memasukkan negara kita, Indonesia, ke dalam kelompok “negara-negara lunak” (soft states). Mengapa disebut demikian? Menurut saya, mereka menyebut seperti itu karena negara kita ini minim akan disiplin sosial. Disini yang saya maksud adalah kelemahan dan kesewenangan yang bisa, atau malah sudah biasa disalah gunakan untuk kepentingan pribadi oleh orang-orang yang memiliki kekuatan terutama orang-orang kelas atas. Tapi tak menutup kemungkinan orang-orang kelas bawah tak melakukannya. Gejala-gejala ini sering kita sebut dengan istilah korupsi, yang kini telah mengakar dalam budaya bangsa kita.
            Negeri kita ini kadang terlihat lucu. Bayangkan saja, dulu saat negara kita masih dalam masa penjajahan kolonial Belanda, Indonesia bebas dari korupsi. Lalu mengapa Indonesia menjadi negeri paling korup setelah beberapa tahun kemerdekaannya?
Menurut saya, itu terjadi karena sebagian tenaga pemerintahan kita kurang ahli dan kurang berpengalaman. Keadaan kurang ahli dan tiadanya pengalaman itu mempunyai akibat pada mundurnya produktivitas kerja. Mundurnya produktivitas membuat kita memanen hasil kerja yang kurang memuaskan. Gaji pegawai negeri kian merendah yang akhirnya ikut membukakan pintu mereka bagi praktik korupsi di Indonesia.
            Efek terburuk dari meningkatnya korupsi di negara Indonesia menurut saya adalah sikap dan kemauan kita untuk bertahan melawan “godaan” menerima suap dari sang koruptor. Misalnya saja kita mengetahui dia melakukan tindakan korupsi. Dia pun menyogok kita dengan memberikan uang tutup mulut. Kalau kita menolak, berarti kita tidak melakukan korupsi. Tapi apabila kita menerimanya, kita berarti bertindak korupsi. Inilah yang akhirnya menjadi berkembang luas di negara kita.
            Mungkin bisa dikatakan tidak ada jalan untuk memberantas korupsi selain daripada kemauan yang kuat dari diri sendiri untuk tidak melakukannya dan keteladanan dari seorang  pemimpin. Tekad memberantas korupsi dari keteguhan hati sendiri untuk tidak korup merupakan problem etika dari kararkter seseorang.
            Misalnya saja kita sedang di suap oleh seseorang. Kalau kita memiliki karakter yang baik, terbiasa jujur dan mengatakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah, kita pasti dengan tegas akan menentang dan menolak suap dari orang itu, atau bahkan akan melaporkan pada pihak berwajib. Tapi, kalau kita terlahir dari pendidikan yang kurang baik yang akhirnya menghasilkan karakter yang tak  baik, kemungkinan besar bila di suap, kita akan menerimanya.
            Karena keputusan mengenai korupsi, memberantasnya atau tidak, mengikutinya atau menolak, membiarkannya atau menghalangi, bahkan peduli kepadanya atau tidak peduli, sebenarnya merupakan sebuah pilihan kita sendiri. Tapi, tak lupa semua yang kita lakukan memerlukan tanggung jawab kita pada diri kita dan kepada Tuhan yang telah menciptakan kita. Sebab perbuatan baik manusia bukanlah “untuk kepentingan” Tuhan, melainkan untuk kepentingan manusia itu sendiri. Jadi, lakukan jika itu benar, dan acuhkan bila itu tidak baik.